Dampak Potensial Penutupan Selat Hormuz terhadap Industri Manufaktur Indonesia

Kuatbaca - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali menjadi sorotan dunia. Konflik antara Iran dan Israel sempat memanas hingga memicu kekhawatiran internasional, terutama setelah Amerika Serikat dilaporkan menyerang fasilitas nuklir milik Iran. Meskipun saat ini situasi telah sedikit mereda dengan kesepakatan gencatan senjata, bayang-bayang ancaman tetap belum sepenuhnya sirna. Salah satu isu yang paling mengkhawatirkan adalah potensi penutupan Selat Hormuz oleh Iran—jalur pelayaran strategis yang menjadi urat nadi perdagangan minyak dunia.
Selat Hormuz merupakan jalur penting bagi distribusi energi global, dengan lebih dari sepertiga perdagangan minyak dunia melintasi selat ini setiap harinya. Apabila jalur ini sampai ditutup, efek domino terhadap harga energi, terutama minyak dan gas, hampir tak terhindarkan.
Dampaknya ke Indonesia: Industri Bisa Tertekan
Kekhawatiran atas potensi penutupan Selat Hormuz bukan sekadar isu luar negeri yang jauh dari Indonesia. Industri dalam negeri, terutama sektor manufaktur, dapat terdampak signifikan jika konflik tersebut benar-benar mengganggu pasokan energi global.
Kementerian Perindustrian menyoroti bahwa naiknya harga minyak dan gas yang mungkin terjadi akibat gangguan di Selat Hormuz dapat menekan kinerja sektor industri. Pasalnya, industri nasional masih sangat bergantung pada pasokan energi, khususnya gas, sebagai salah satu komponen utama dalam proses produksi.
Berdasarkan analisis internal Kemenperin, terdapat hubungan yang cukup jelas antara fluktuasi harga energi global dengan performa sektor manufaktur. Ketika harga gas melonjak, indeks-indeks utama seperti Purchasing Managers’ Index (PMI) dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) cenderung menurun. Kenaikan biaya produksi akibat mahalnya energi membuat pelaku industri menahan ekspansi dan mengurangi aktivitas produksi.
Korelasi Negatif antara Energi dan Produktivitas
Tren ini bukan hanya spekulasi, melainkan hasil dari pengamatan statistik yang telah dilakukan oleh pihak berwenang. Ketika harga gas internasional naik, performa industri menurun secara signifikan. Sebaliknya, jika harga energi lebih stabil atau menurun, PMI dan IKI akan menunjukkan tren positif, mencerminkan optimisme pelaku usaha serta kenaikan kapasitas produksi.
Efek dari harga energi ini tidak hanya dirasakan oleh industri besar, tetapi juga oleh sektor manufaktur kecil dan menengah yang biasanya lebih rentan terhadap tekanan biaya produksi. Dengan demikian, jika situasi geopolitik di Timur Tengah tidak kunjung membaik, maka Indonesia juga harus bersiap menghadapi kemungkinan perlambatan di sektor industri.
Risiko Politik dan Kepentingan Regional
Meski ancaman penutupan Selat Hormuz masih bersifat potensial dan belum terealisasi, situasinya tetap perlu diwaspadai. Iran memang memiliki kekuatan militer dan posisi geografis strategis untuk menutup jalur tersebut, namun hal ini dapat menjadi bumerang politik bagi mereka sendiri.
Negara-negara tetangga seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Kuwait juga menggantungkan distribusi minyaknya melalui jalur ini. Jika Selat Hormuz ditutup, Iran bisa kehilangan simpati dan dukungan dari sesama negara penghasil minyak di kawasan Teluk. Hal ini bisa memperuncing ketegangan dan memperluas konflik yang ada.
Amerika Serikat sendiri telah menyerukan agar negara-negara mitra, termasuk Tiongkok, turut menekan Iran agar tidak mengambil langkah ekstrem tersebut. Situasi ini mencerminkan betapa pentingnya diplomasi energi dalam mengamankan kepentingan global, termasuk Indonesia.
Dengan ancaman yang membayangi ini, Indonesia didorong untuk mulai mempercepat langkah mitigasi. Diversifikasi sumber energi, efisiensi dalam konsumsi energi industri, serta penguatan cadangan energi nasional menjadi langkah-langkah penting yang perlu segera diakselerasi.
Pemerintah dan pelaku industri juga perlu terus memantau perkembangan geopolitik internasional sembari memperkuat kerja sama antar negara dalam hal pasokan energi. Kesiapsiagaan dalam menghadapi lonjakan harga dan gangguan distribusi adalah kunci menjaga stabilitas sektor manufaktur nasional.
Penutupan Selat Hormuz memang belum terjadi, namun sinyal ancamannya sudah cukup kuat untuk menjadi peringatan dini. Sektor industri Indonesia tidak boleh lengah. Kini saatnya membangun daya tahan dari dalam negeri agar tidak mudah goyah oleh badai politik global.