Fenomena FOMO Beli Emas: Tren Investasi atau Keputusan Emosional?

Kuatbaca.com-Lonjakan harga emas di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir telah menciptakan fenomena unik di tengah masyarakat. Banyak orang yang sebelumnya tidak pernah terpikir untuk membeli emas kini rela mengantre sejak pagi demi mendapatkan logam mulia tersebut. Fenomena ini dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO), di mana seseorang terdorong untuk mengikuti tren hanya karena takut tertinggal, tanpa pertimbangan rasional atau perencanaan yang matang.
1. Lonjakan Harga Emas Picu Antrean Panjang
Kenaikan harga emas secara drastis, yang saat ini bahkan menyentuh Rp 1.975.000 per gram di butik Antam dan menembus Rp 2 juta di Pegadaian, telah memicu euforia di kalangan masyarakat. Banyak orang yang rela datang sejak subuh ke butik emas hanya demi memastikan mereka mendapatkan bagian, karena khawatir stok habis atau harga naik lagi keesokan harinya.
Kondisi ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh psikologis dari kenaikan harga terhadap keputusan finansial masyarakat. Tanpa memperhitungkan waktu yang tepat atau tujuan investasi yang jelas, banyak orang mengambil keputusan impulsif karena dorongan situasi.
Padahal, harga emas memang memiliki karakteristik fluktuatif, dan pembelian di puncak harga justru dapat menimbulkan potensi kerugian dalam jangka pendek jika dilakukan tanpa strategi. Fenomena ini mempertegas pentingnya pemahaman terhadap instrumen investasi sebelum mengambil keputusan besar.
2. Ketakutan Tertinggal Tren: Wajah FOMO dalam Investasi
FOMO dalam dunia investasi bukanlah hal baru, namun efeknya bisa sangat signifikan. Saat masyarakat melihat orang lain membeli emas dan mendengar isu bahwa harga akan terus naik, mereka pun terdorong untuk melakukan hal yang sama. Sayangnya, keputusan ini sering kali tidak disertai dengan analisis kebutuhan atau kesiapan finansial pribadi.
Misalnya, seseorang memiliki uang Rp 10 juta dan langsung digunakan untuk membeli emas saat harga berada di angka tertinggi. Ketika tiba-tiba membutuhkan dana darurat beberapa minggu kemudian, emas itu terpaksa dijual kembali. Namun karena harga buyback selalu lebih rendah dari harga jual, nilainya berkurang dan pemilik justru merugi.
Hal seperti ini kerap terjadi karena kurangnya literasi keuangan dan pemahaman terhadap cara kerja investasi emas. Padahal, emas merupakan instrumen jangka panjang yang idealnya dibeli saat harga rendah dan dijual saat harga tinggi, bukan sebaliknya.
3. Tradisi, Momen Sosial, dan Dorongan Emosional
Selain faktor ekonomi, budaya dan momentum sosial juga memainkan peran penting dalam dorongan membeli emas. Seperti yang terlihat saat menjelang Lebaran, penjualan perhiasan emas meningkat dua kali lipat di berbagai kota besar. Masyarakat membeli bukan hanya untuk investasi, tapi juga demi tampil "bernilai" saat merayakan hari besar.
Ini menunjukkan bahwa keputusan membeli emas tidak selalu berdasarkan kebutuhan rasional, tetapi lebih pada tekanan sosial dan keinginan untuk mengikuti arus. Dalam jangka panjang, perilaku seperti ini bisa berisiko jika dilakukan terus-menerus tanpa perencanaan finansial yang tepat.
Fenomena pembelian emas massal juga menunjukkan adanya kecemasan kolektif terhadap kondisi ekonomi global. Ketidakpastian yang dipicu oleh isu resesi, inflasi, hingga konflik geopolitik membuat masyarakat mencari aset aman yang bisa melindungi nilai kekayaan mereka. Dalam kondisi seperti ini, emas memang menjadi pilihan yang terlihat paling masuk akal. Tapi, keputusan tetap harus diambil dengan kepala dingin.
4. Pentingnya Literasi Keuangan dalam Menghadapi Tren Investasi
Di tengah fenomena ini, ada satu pelajaran penting yang patut disorot: rendahnya literasi keuangan di Indonesia. Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK tahun 2024, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 65,43%. Sementara untuk keuangan syariah, angka ini bahkan lebih rendah lagi, hanya 39,11%.
Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum benar-benar memahami prinsip dasar dalam mengelola keuangan, termasuk cara memilih instrumen investasi yang sesuai dengan kebutuhan dan profil risiko masing-masing. Tanpa edukasi yang memadai, masyarakat akan mudah terbawa arus tren yang belum tentu menguntungkan bagi kondisi finansial mereka.
Investasi emas memang bisa menjadi pilihan aman jika dilakukan dengan pertimbangan matang. Tapi, keputusan pembelian harus dilakukan berdasarkan analisis terhadap tujuan keuangan pribadi, bukan karena dorongan sesaat atau panik melihat tren. Pemahaman ini perlu dibangun sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun edukasi publik.
Fenomena FOMO dalam pembelian emas mencerminkan tantangan nyata dalam dunia investasi di Indonesia. Saat harga emas naik, tidak sedikit masyarakat yang ikut-ikutan membeli tanpa memahami konsekuensinya. Padahal, investasi seharusnya menjadi proses yang rasional, terencana, dan disesuaikan dengan kemampuan serta kebutuhan keuangan.
Bukan berarti masyarakat tidak boleh membeli emas—justru sebaliknya, emas tetap menjadi salah satu instrumen investasi yang stabil dan aman untuk jangka panjang. Namun, pembelian harus dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan niat yang benar. Jangan sampai semangat berinvestasi malah berubah menjadi jebakan finansial karena minimnya perencanaan.
Kenaikan harga emas seharusnya menjadi momentum untuk belajar lebih dalam tentang dunia investasi. Baik emas, saham, obligasi, maupun instrumen lainnya, semuanya memiliki kelebihan dan risiko. Dengan meningkatkan literasi keuangan, masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dan tidak sekadar mengikuti arus.