Geger Bursa Asia: Efek Domino Tarif Impor Trump Mengguncang Pasar

7 April 2025 13:16 WIB
d17167f4-ddbc-4741-9144-f30c74cbb391_169.jpeg

Kuatbaca - Awal pekan ini, suasana pasar saham di Asia langsung diliputi kepanikan. Belum lama setelah lonceng pembukaan perdagangan berbunyi, sederet indeks utama langsung terperosok tajam. Penyebabnya bukan tanpa alasan—langkah terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kembali mengobarkan tensi global lewat kebijakan tarif impor tinggi, menjadi pemicu utama kepanikan tersebut.

Tarif Tinggi, Isyarat Perang Dagang Babak Baru?

Trump kembali menerapkan tarif impor besar-besaran untuk barang-barang dari berbagai negara. Tak tanggung-tanggung, sejumlah produk asal Asia dikenakan bea masuk hingga 32%. Kebijakan proteksionis ini sontak dianggap sebagai manuver agresif yang bisa memicu gelombang perang dagang babak baru. Bagi banyak negara di kawasan Asia, ini bukan hanya soal hubungan diplomatik, tapi juga ancaman nyata terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pasar modal mereka.

Bursa saham Jepang menjadi salah satu korban terbesar dari efek domino ini. Indeks acuan NIKKEI 225 langsung rontok lebih dari 8% hanya dalam beberapa menit setelah perdagangan dimulai. Ini adalah posisi terendahnya dalam hampir setahun terakhir, menandakan betapa kerasnya pukulan pasar terhadap kabar tarif tersebut.

Indeks TOPIX, yang mencakup saham-saham dengan kapitalisasi besar dan kecil, juga mengalami nasib serupa dengan penurunan lebih dari 7,5%. Meski sempat pulih sedikit, tekanan jual tetap mendominasi sepanjang sesi perdagangan.

Kondisi di Korea Selatan juga tak kalah mencemaskan. Indeks KOSPI anjlok hingga hampir 5% dalam waktu singkat, memaksa otoritas pasar mengambil tindakan ekstrem: menghentikan sementara perdagangan selama lima menit untuk meredam gejolak. Saham-saham unggulan seperti Samsung dan Hyundai ikut terseret dalam tekanan jual, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dampak jangka panjang dari tarif Trump terhadap ekspor Korea.

Di Taiwan, pasar dibuka dengan kejatuhan mendekati 10%. Indeks TAIEX ambruk lebih dari 9,7%, membuat sejumlah investor panik. Saham dua raksasa teknologi, TSMC dan Foxconn, mengalami penurunan mendekati 10%, sehingga perdagangan terpaksa dihentikan sementara demi mencegah aksi jual massal. Kejatuhan saham-saham teknologi ini bisa memberi sinyal negatif global, mengingat dominasi sektor ini dalam perdagangan dunia.

Badai di pasar saham tak berhenti di Asia Timur. Di wilayah Oseania, Australia mencatatkan penurunan signifikan pada indeks ASX 200 sebesar 6,3% di sesi pagi. Sementara Selandia Baru mengalami penurunan lebih dari 3,5% pada indeks NZX 50. Meski secara geografis lebih jauh dari episentrum perang dagang, dua negara ini tetap terkena imbas ketidakpastian global, terutama karena ketergantungan pada perdagangan internasional.

Indonesia Masih Libur, Tapi Ancaman Mengintai

Sementara bursa saham di berbagai negara Asia berguguran, Indonesia masih menikmati suasana libur Lebaran. Bursa Efek Indonesia (BEI) belum membuka kembali aktivitas perdagangan. Namun ketenangan ini diprediksi hanya bersifat sementara. Ketika pasar Indonesia dibuka kembali pada Selasa, 8 April 2025, para pelaku pasar kemungkinan akan menghadapi tekanan jual akibat efek global.

Berbagai analis memperkirakan IHSG bisa langsung dibuka melemah karena faktor eksternal yang sangat kuat. Selain itu, kekhawatiran atas potensi pelemahan ekspor nasional akibat tarif baru dari AS juga bisa menambah sentimen negatif.

Titik Kritis Ekonomi Global?

Langkah Trump yang menaikkan tarif dinilai sebagai sinyal keras bahwa proteksionisme belum usai. Dunia, terutama kawasan Asia, kini berada dalam titik kritis. Ketegangan dagang seperti ini bisa berujung pada perlambatan ekonomi global yang lebih luas jika tidak segera diredam melalui dialog multilateral.

Investor kini menanti respons negara-negara yang terdampak. Apakah akan ada pembalasan dalam bentuk tarif balasan, atau justru upaya diplomatik untuk meredakan situasi? Jawabannya akan sangat menentukan arah pasar dalam beberapa pekan ke depan.

Fenomena Terkini






Trending