Kebijakan Co-Payment di Asuransi Kesehatan Mulai Berlaku Tahun 2026

13 June 2025 12:16 WIB
ilustrasi-medical-insurance_169.jpeg

Kuatbaca.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa mulai tahun 2026, nasabah asuransi kesehatan diwajibkan untuk menanggung biaya klaim minimal 10% dari total pengajuan klaim. Kebijakan ini dikenal dengan istilah co-payment, yaitu sistem pembagian risiko antara perusahaan asuransi dan nasabah dalam proses klaim asuransi kesehatan. Kebijakan ini diharapkan menjadi salah satu langkah reformasi di industri perasuransian yang tengah mengalami berbagai tantangan, termasuk kenaikan premi yang cukup signifikan.


1. Alasan Utama Penerapan Co-Payment oleh OJK

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa penerapan co-payment ini bertujuan untuk menekan biaya premi asuransi kesehatan agar tetap terjangkau oleh masyarakat luas. "Jadi justru kenaikan premi kesehatan yang tidak terkendali itu yang menyebabkan adanya co-payment ini," jelas Ogi dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 12 Juni 2025. Dengan adanya pembagian biaya ini, diharapkan premi asuransi tidak terus meningkat secara drastis yang justru memberatkan konsumen.

2. Batas Maksimum Pembayaran Co-Payment dan Dampaknya pada Inflasi Medis

Dalam skema co-payment yang dirancang oleh OJK, nasabah akan membayar biaya maksimal sebesar Rp 300 ribu untuk klaim rawat jalan dan Rp 3 juta untuk klaim rawat inap per pengajuan klaim. Namun, perusahaan asuransi tetap bisa menetapkan angka co-payment yang lebih tinggi, asalkan disepakati dalam polis. Kebijakan ini juga diarahkan untuk menekan inflasi medis di Indonesia yang sangat tinggi, yakni mencapai 10,1% pada 2024 dan diprediksi melonjak menjadi 13,6% pada 2025. Biaya layanan kesehatan dan obat-obatan yang terus naik menjadi faktor utama pemicu inflasi tersebut.

3. Mengurangi Klaim Berlebihan dengan Sistem Co-Payment

Salah satu alasan penting penerapan co-payment adalah untuk mengurangi klaim berlebihan atau over utilisasi layanan kesehatan. Ogi menegaskan bahwa tanpa adanya co-payment, pemegang polis cenderung memanfaatkan layanan kesehatan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya. "Supaya si pemegang polis, peserta asuransi kesehatan itu bisa mengontrol juga, 'oh obat-obat ini nggak perlu saya'. Kalau dibayar asuransi semua kan yaudah (terima saja)," ujarnya. Dengan demikian, skema ini mendorong penggunaan layanan kesehatan yang lebih bijak dan efektif.

4. Upaya Meminimalisir Penyalahgunaan Klaim Asuransi

Selain mengendalikan biaya premi dan inflasi medis, co-payment juga berfungsi sebagai mekanisme untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan atau fraud dalam proses klaim asuransi kesehatan. OJK mencatat bahwa di berbagai negara, sekitar 5-10% klaim asuransi kesehatan merupakan klaim yang bermasalah, termasuk klaim dengan dokumen palsu. Di Indonesia, diperkirakan sekitar 5% klaim mengalami indikasi fraud. Ogi menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap praktik tersebut agar industri asuransi bisa berjalan lebih sehat dan berkelanjutan. "Data yang kami monitor di negara-negara lain itu 5-10% dari klaim untuk asuransi kesehatan itu adalah fraud. Indonesia kami perkirakan itu 5%, artinya dia tidak terjadi tindakan itu atau dia menggunakan dokumen palsu," katanya.

Fenomena Terkini






Trending