Menakar Realisasi Janji 19 Juta Lapangan Kerja: Mimpi Besar atau Tantangan Nyata?

Kuatbaca.com - Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka pernah mengumandangkan sebuah janji besar: menciptakan 19 juta lapangan kerja baru. Janji itu ia sampaikan dengan percaya diri saat debat keempat Pilpres 2024 yang berlangsung di JCC Senayan, Jakarta. Janji ini langsung menjadi sorotan publik, terutama karena angka yang disebutkan sangat ambisius, terlebih jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi nasional yang masih penuh tantangan.
Namun, pertanyaannya kini adalah: apakah penciptaan 19 juta lapangan kerja benar-benar realistis, atau hanya menjadi retorika kampanye?
1. Tantangan dari Sisi Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Salah satu hal paling krusial dalam penciptaan lapangan kerja adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menilai bahwa janji 19 juta lapangan kerja sebenarnya bisa direalisasikan. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan pemerintah saat ini belum mengarah ke sana.
“Lihat aja kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ya. Kalau mau wujudkan penciptaan lapangan pekerjaan 19 juta, yang pertama adalah upgrade kualitas tingkat pendidikan. Nah sekarang anggaran pendidikan itu berkurang, terus lebih banyak direlokasi anggaran ke yang lain, MBG (Makan Bergizi Gratis), Koperasi Merah Putih. Tidak ada upgrade skill dari sana,” ujar Esther.
Esther menambahkan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya diperluas aksesnya, tetapi juga ditingkatkan kualitasnya agar mampu menjawab kebutuhan zaman dan industri.
2. Insentif Investasi, Bukan Konsumsi
Faktor penting lain yang mempengaruhi penciptaan lapangan kerja adalah iklim investasi. Esther menyoroti bahwa pemerintah seharusnya mengarahkan insentif ke sektor investasi, bukan konsumsi. Saat ini, banyak insentif yang diberikan justru bersifat konsumtif, seperti bantuan sosial dan subsidi.
“Kalau mau membuka lapangan pekerjaan 19 juta, yaudah dong kasih insentif-insentif yang ke arah investasi, bukan insentif-insentif yang mengarah ke konsumsi. Jadi kalau ada kaya kasih bansos, subsidi listrik, gaji subsidi dua bulan Rp300 ribu, itu tidak ke arah investasi atau meng-upgrade pendidikan secara luas,” tegasnya.
Hal ini memperlihatkan bahwa strategi kebijakan fiskal perlu diarahkan ulang jika ingin target penciptaan jutaan pekerjaan benar-benar tercapai.
3. Rasio Investasi dan Serapan Tenaga Kerja Kian Tidak Proporsional
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai bahwa janji penciptaan 19 juta lapangan kerja sangat sulit diwujudkan dalam konteks ekonomi Indonesia saat ini. Ia menyebutkan bahwa rasio antara investasi dan tenaga kerja terus menurun, terutama karena investasi kini banyak mengalir ke sektor padat modal, bukan padat karya.
“Rasio investasi dengan lapangan kerja makin tidak berbanding lurus. Investasi masuk lebih ke sektor padat modal. Akibatnya, setiap Rp1 triliun investasi asing hanya menyerap 1.000 orang tenaga kerja. Zaman Covid-19 angkanya bisa 1.300 orang per Rp1 triliun PMA. Berarti kualitas investasinya makin jelek,” ujar Bhima.
Situasi ini juga diperparah dengan maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diperkirakan mencapai 280 ribu kasus sepanjang tahun ini, menandakan bahwa kondisi ketenagakerjaan nasional sedang tidak sehat.
4. Program Pemerintah Justru Timbulkan Risiko Baru
Beberapa program unggulan pemerintah seperti Koperasi Desa Merah Putih juga tidak luput dari kritik. Bhima menilai program ini justru berpotensi menekan usaha mikro dan desa yang sudah ada. “Kopdes Merah Putih akan head to head dengan usaha di desa, dan itu justru ciptakan banyak usaha gulung tikar. Hitungan CELIOS, dengan adanya Kopdes MP, 175.000 lapangan kerja di sektor farmasi jadi terancam,” ungkapnya.
Selain itu, program hilirisasi industri juga dinilai belum maksimal menyerap tenaga kerja karena tidak disertai dengan tata kelola yang baik. Dalam prosesnya, justru ada kelompok seperti petani dan nelayan yang kehilangan pendapatan karena tergeser oleh skema hilirisasi tanpa perlindungan sosial yang memadai.
“Bisa dibilang skenario pemerintah akan gagal buka 19 juta lapangan kerja kalau programnya bermasalah,” pungkas Bhima.