Polemik UU BUMN 2025: Apakah Direksi BUMN Kebal Hukum?

10 May 2025 11:30 WIB
bbee0644-bcde-452e-9572-3433e8ffa9b6_169.jpeg

Kuatbaca.com - Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai sorotan tajam. Perdebatan muncul setelah publik menyoroti pasal 9G yang menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Pernyataan ini mengundang kekhawatiran sebagian kalangan karena dianggap bisa membuka celah impunitas terhadap jajaran direksi yang terlibat dalam pelanggaran hukum, termasuk tindak pidana korupsi.

1. Kekhawatiran Lembaga Antikorupsi: KPK dan Pukat UGM Angkat Bicara

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengungkapkan keprihatinannya terhadap diksi dalam pasal tersebut. Menurutnya, perubahan status direksi dan komisaris BUMN yang tak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara bisa berdampak pada kewenangan penegakan hukum oleh lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Kalau disebut bukan penyelenggara negara, artinya KPK bisa kehilangan kewenangan untuk menjerat pelaku dari insan BUMN berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor," ujar Zaenur.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa ketentuan ini bertabrakan langsung dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa jajaran komisaris dan direksi BUMN termasuk dalam kategori penyelenggara negara. Hal ini juga berimplikasi terhadap kewajiban pelaporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). "Kalau statusnya bukan penyelenggara negara, maka tidak wajib lapor LHKPN, padahal itu penting sebagai instrumen pencegahan korupsi," jelasnya.

2. KPK Tegaskan Masih Bisa Tindak Korupsi di BUMN

Ketua KPK, Setyo Budiyanto, turut memberikan klarifikasi bahwa pihaknya tetap memaknai jajaran direksi dan komisaris BUMN sebagai penyelenggara negara sesuai dengan UU 28 Tahun 1999. Dalam keterangannya, Setyo menekankan bahwa sejumlah pasal dalam UU BUMN terbaru memang berpotensi membatasi kewenangan KPK, namun lembaganya tetap akan bertindak berdasarkan prinsip hukum dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan kekayaan negara yang dipisahkan (seperti pada BUMN) tetap termasuk dalam kategori keuangan negara.

Ia merujuk pada Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan lainnya, yang mempertegas bahwa kerugian pada BUMN tetap dapat dikategorikan sebagai kerugian negara, dan oleh karenanya, tindakan melawan hukum yang menimbulkan kerugian tersebut tetap dapat diproses secara pidana.

3. DPR dan MPR: Tidak Ada Kekebalan Hukum bagi Direksi BUMN

Di tengah polemik yang berkembang, sejumlah anggota parlemen menyampaikan bahwa tidak benar bila ada anggapan direksi BUMN kebal hukum. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menegaskan bahwa aparat penegak hukum tetap memiliki kewenangan untuk memproses direksi yang melakukan tindak pidana. “Direksi BUMN tetap bisa diproses hukum jika melakukan korupsi atau pelanggaran lain,” tegasnya.

Senada dengan itu, Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menyatakan bahwa keberadaan UU BUMN yang baru lebih kepada memberikan fleksibilitas manajerial, bukan membebaskan direksi dari tanggung jawab hukum. “Fleksibilitas ini tidak berarti impunitas,” ujar Eddy.

4. Penegasan Tidak Ada Impunitas dalam UU BUMN

Anggota Komisi VI DPR lainnya, seperti Mufti Anam dari Fraksi PDIP dan Sartono Hutomo dari Fraksi Demokrat, juga menguatkan narasi bahwa penegakan hukum tetap bisa dilakukan. Mufti menekankan bahwa apabila terbukti terjadi fraud atau tindak pidana korupsi, proses hukum harus tetap berjalan. Sementara itu, Sartono menambahkan bahwa dalam UU BUMN tidak terdapat satu pun pasal yang menyatakan direksi mendapat perlindungan dari jerat hukum. “BUMN tunduk pada hukum. Jika direksi melakukan pelanggaran, tetap harus diproses sesuai aturan,” ujarnya.

5. Perlunya Harmonisasi Regulasi Antikorupsi dan Tata Kelola BUMN

Polemik ini menunjukkan pentingnya harmonisasi regulasi antara UU BUMN dengan regulasi antikorupsi yang sudah ada. Ketidaksinkronan antar undang-undang bisa menciptakan celah hukum yang membahayakan prinsip akuntabilitas dan transparansi di lingkungan BUMN. Pemerintah dan DPR perlu melakukan evaluasi menyeluruh agar tata kelola BUMN tetap bersih, efisien, dan profesional tanpa melahirkan kekebalan hukum.

Fenomena Terkini






Trending