Ayatollah Khamenei Tegas Hadapi Ancaman Trump: Iran Tak Akan Mundur Selangkah Pun

Kuatbaca - Kawasan Timur Tengah kembali bergolak. Kali ini, pernyataan keras datang dari Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang menegaskan bahwa negaranya tidak akan tunduk pada tekanan Amerika Serikat. Dalam pidato yang disampaikan secara resmi di televisi pemerintah, Khamenei menyatakan bahwa Iran tidak akan menyerah pada tuntutan Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang meminta "penyerahan tanpa syarat" pasca konflik dengan Israel kian membara.
Situasi ini memuncak setelah serangkaian serangan lintas negara meletus di kawasan. Israel memulai operasi militer berskala besar, membombardir sejumlah wilayah strategis di sekitar Teheran. Sebagai balasan, Iran meluncurkan rudal dan drone ke arah wilayah Israel, menandai babak baru ketegangan yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Peringatan Keras dari Teheran
Dalam pidatonya, Ayatollah Khamenei tidak hanya menolak ultimatum AS, tetapi juga mengingatkan bahwa intervensi militer terhadap Iran akan menimbulkan “kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.” Ia menegaskan bahwa Iran bukanlah negara yang bisa ditekan dengan ancaman atau paksaan. Pesan ini diarahkan langsung kepada Washington dan sekutunya, dengan penekanan bahwa Iran tidak akan tinggal diam jika kedaulatannya dilanggar.
Khamenei, yang telah memimpin Iran sejak 1989, dikenal sebagai tokoh sentral dalam pengambilan keputusan strategis negara, termasuk kebijakan luar negeri dan pertahanan. Posisinya sebagai pemimpin spiritual sekaligus politik menjadikan pernyataannya memiliki bobot yang besar, baik di dalam negeri maupun di panggung internasional.
Serangan Udara Hantam Infrastruktur Nuklir Iran
Konflik kali ini tidak sekadar retorika politik. Serangan nyata terjadi pada Jumat (13/6), ketika lebih dari 50 jet tempur Israel menggempur beberapa target penting di sekitar Teheran. Salah satu target utama adalah dua bangunan yang memproduksi komponen sentrifus, alat penting dalam proses pengayaan uranium.
Menurut laporan dari lembaga pengawas internasional, Badan Energi Atom Internasional (IAEA), gedung-gedung yang berada di Karaj — kota satelit di luar Teheran — menjadi sasaran langsung serangan udara. Serangan ini disebut sebagai bagian dari upaya Israel untuk menghambat pengembangan senjata nuklir oleh Iran, meski Teheran berulang kali menegaskan bahwa program nuklirnya hanya bertujuan damai.
Selain itu, fasilitas lain yang memproduksi dan menguji rotor sentrifus canggih juga mengalami kerusakan. Hal ini mengisyaratkan bahwa Israel telah memetakan dan menyasar titik-titik vital dalam rantai produksi teknologi nuklir Iran.
Iran Balas Serangan dengan Rudal dan Drone
Tidak tinggal diam, Iran segera membalas dengan meluncurkan rudal hipersonik Fattah-1 ke arah Tel Aviv. Meski rudal tersebut tidak mencapai target, serangan itu mengirimkan pesan kuat tentang kemampuan militer Iran yang semakin berkembang. Rudal hipersonik dikenal sulit dideteksi dan dicegat karena kecepatannya yang melampaui lima kali kecepatan suara serta kemampuannya bermanuver saat terbang.
Selain rudal, Iran juga mengirimkan “gerombolan pesawat nirawak” (drone) ke wilayah Israel. Militer Israel mengklaim telah berhasil mencegat sepuluh drone, sementara satu drone Israel dilaporkan jatuh di wilayah Iran. Ini menandakan perang elektronik dan teknologi tinggi kini menjadi bagian utama dalam konfrontasi dua negara ini.
Ketegangan antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat memunculkan kekhawatiran akan potensi konflik regional yang lebih luas. Banyak negara di dunia menyerukan deeskalasi, namun dengan posisi masing-masing pihak yang kian mengeras, peluang untuk damai tampaknya masih jauh dari jangkauan.
Pernyataan Ayatollah Khamenei menegaskan bahwa Iran tidak akan tunduk di bawah tekanan internasional, dan akan melawan jika merasa diserang. Di sisi lain, AS dan Israel tampaknya bertekad untuk menghentikan pengaruh Iran di kawasan, terutama dalam hal pengembangan teknologi nuklir.
Apapun yang akan terjadi dalam beberapa hari atau minggu mendatang, yang jelas kawasan Timur Tengah kembali berada di titik kritis. Dunia hanya bisa berharap agar logika diplomasi mampu mengalahkan nafsu konflik bersenjata.