BEI Ubah Aturan Trading Halt dan ARB, Bukan Hanya Indonesia yang Bergerak

Kuatbaca - Pasar saham Indonesia memasuki babak baru dalam pengaturan mekanisme perdagangannya. Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi memberlakukan revisi pada ketentuan trading halt dan batas auto rejection bawah (ARB) yang mulai berlaku Selasa, 8 April 2025. Langkah ini tidak dilakukan secara sepihak. Sejumlah negara di Asia juga melakukan penyesuaian yang serupa sebagai upaya menjaga kestabilan pasar di tengah kondisi global yang dinamis.
Penyesuaian Aturan Jadi Strategi Kawasan
Perubahan kebijakan yang dilakukan BEI bukan sekadar keputusan sepihak dari dalam negeri. Sejumlah negara tetangga seperti Korea Selatan dan Thailand juga turut menyesuaikan mekanisme pasar mereka. Di Korea Exchange (KRX) dan Stock Exchange of Thailand (SET), batas ARB yang diberlakukan adalah 8%, angka yang kini juga diadopsi oleh BEI.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak melangkah sendirian. Ada kecenderungan regional untuk menyelaraskan langkah demi menjaga kestabilan pasar modal, terutama ketika volatilitas global meningkat. Hal ini memperlihatkan bagaimana pasar saham Asia bergerak selaras, menciptakan satu pola kebijakan yang relatif seragam dalam menghadapi tekanan eksternal.
Asimetri dalam Batas Atas dan Bawah Perdagangan
Menariknya, sistem perdagangan di Indonesia dikenal memiliki karakteristik asimetris. Artinya, batas atas kenaikan harga saham (auto rejection atas atau ARA) dan batas bawah penurunan harga (auto rejection bawah atau ARB) tidak memiliki rentang yang sama. Untuk saat ini, batas atas ditetapkan sebesar 20%, 25%, bahkan hingga 35%, sedangkan batas bawah hanya 8%, 15%, atau maksimal 20%.
Kebijakan ini bertujuan agar tidak terjadi gejolak harga yang terlalu ekstrem di kedua arah. Namun dalam praktiknya, asimetri ini juga menjadi alat kontrol untuk memperlambat kepanikan pasar saat harga-harga saham anjlok tajam dalam waktu singkat. Investor diberi ruang bernapas untuk menelaah dan mengevaluasi kondisi pasar sebelum mengambil keputusan.
Salah satu latar belakang perubahan ini adalah untuk menjaga kepercayaan investor. Dalam beberapa waktu terakhir, pasar saham Indonesia sempat mengalami tekanan, termasuk penurunan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang memicu penghentian sementara atau trading halt. Ketika situasi seperti itu terjadi, pasar rentan terhadap kepanikan massal.
Dengan menyesuaikan batas ARB menjadi lebih realistis dan trading halt yang lebih fleksibel, BEI berupaya menciptakan keseimbangan antara perlindungan investor dan dinamika pasar yang wajar. Harapannya, investor—baik lokal maupun asing—tetap merasa aman dan nyaman untuk bertransaksi di Bursa Efek Indonesia, tanpa harus terjebak dalam kepanikan akibat fluktuasi sesaat.
Langkah Proaktif Hadapi Tantangan Global
Penyesuaian kebijakan ini juga merupakan bentuk respons terhadap kondisi global yang belum sepenuhnya stabil. Ketidakpastian ekonomi dunia, mulai dari kebijakan suku bunga negara besar, ketegangan geopolitik, hingga perlambatan ekonomi di beberapa kawasan, turut memengaruhi pergerakan pasar saham. Dalam konteks inilah, BEI mengambil langkah antisipatif.
Daripada menunggu gejolak besar terjadi, regulasi diperbarui sejak dini. Dengan begitu, pelaku pasar punya waktu dan ruang untuk beradaptasi. Ini juga menjadi bagian dari upaya menjaga daya tarik pasar Indonesia di mata investor asing yang terus mencari stabilitas di tengah gejolak global.
Revisi mekanisme ARB dan trading halt tidak hanya soal teknis perdagangan, tetapi mencerminkan arah kebijakan yang lebih matang. Bursa tidak lagi sekadar tempat jual beli saham, tetapi menjadi pusat kepercayaan, kredibilitas, dan perlindungan bagi investor.
Langkah ini menunjukkan bahwa BEI ingin membangun ekosistem pasar modal yang adaptif, tangguh terhadap tekanan eksternal, serta tetap inklusif bagi semua kalangan investor. Dengan kolaborasi dan harmonisasi kebijakan di tingkat regional Asia, Indonesia memperkuat posisinya sebagai pasar berkembang yang tak bisa dipandang sebelah mata.