Kembali ke Kanjuruhan: Aremania dan Pelajaran yang Tak Pernah Diambil

12 May 2025 22:24 WIB
kondisi-bus-persik-kediri-usai-dilempari-batu-oknum-suporter-1746974477066.jpeg

Kuatbaca - Suporter Arema FC, Aremania, kembali membuat berita setelah insiden memalukan di Stadion Kanjuruhan pada 11 Mei 2025. Sebagai tim yang kembali bertanding di rumah mereka setelah tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang pada Oktober 2022, harapan publik seharusnya adalah perubahan sikap, rasa tanggung jawab, dan pemahaman akan akibat dari kelakuan negatif. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: aksi kekerasan kembali mewarnai sepakbola Indonesia.

Kekalahan yang Tak Dapat Diterima: Aksi Lempar Batu ke Bus Tim Lawan

Saat Arema FC menelan kekalahan telak 0-3 dari Persik Kediri, banyak suporter yang merasa kecewa dan marah. Namun, kemarahan itu disalurkan dengan cara yang sangat tidak patut. Setelah pertandingan berakhir, Aremania yang kecewa melempari bus tim tamu dengan batu. Insiden ini menyebabkan kaca depan dan samping kiri bus pecah, serta melukai pelatih Persik Kediri, Divaldo Alves, di bagian kepala. Tindakan kekerasan seperti ini jelas menunjukkan bahwa beberapa suporter Aremania belum belajar dari tragedi Kanjuruhan yang mengubah wajah sepakbola Indonesia.

Stadion Kanjuruhan, yang seharusnya menjadi tempat kebanggaan bagi Arema FC dan Aremania, kini membawa luka yang dalam. Tragedi Kanjuruhan pada 2022 yang menewaskan 135 orang akibat kerusuhan yang dipicu oleh kekecewaan suporter, seharusnya menjadi titik balik dalam cara suporter bersikap. Sayangnya, insiden terbaru ini menunjukkan bahwa mentalitas tersebut belum berubah. Bukannya menyambut kedatangan tim dengan semangat positif, Aremania justru memilih untuk menyalurkan kekecewaan mereka dengan cara yang sama sekali tidak sportif.

Dilema Arema FC: Antara Cinta Klub dan Keberanian untuk Berubah

Arema FC sebagai klub yang memiliki sejarah panjang, tak hanya harus berjuang di lapangan, tetapi juga harus menghadapi tekanan dari suporter yang sulit dikendalikan. Setelah tragedi Kanjuruhan, Arema menjadi tim musafir, terpaksa bermain tanpa dukungan penuh di rumah mereka sendiri. Kembalinya mereka ke Stadion Kanjuruhan diwarnai dengan ekspektasi tinggi, bukan hanya dari segi performa tim, tetapi juga perubahan perilaku dari suporter mereka. Sayangnya, meski klub berusaha bangkit dan tetap bertahan dengan segala keterbatasan, Aremania kembali memberikan bukti bahwa mereka belum sepenuhnya siap untuk menghadapi kenyataan pahit: menerima kekalahan dengan lapang dada.

General Manager Arema, Yusrinal Fitriandi, menyatakan rasa frustrasi yang mendalam atas perilaku suporter yang terus menerus mencaci klub meski klub berusaha keras untuk tetap bertahan. Dalam kondisi ekonomi yang sulit dan setelah mengalami trauma akibat tragedi tersebut, klub berharap agar suporter bisa memberikan dukungan positif, namun kenyataannya adalah sebaliknya.

Mentalitas Kekalahan yang Membahayakan

Kekecewaan yang meluap setelah kekalahan seakan sudah menjadi tradisi yang tak bisa dihindari. Insiden yang terjadi pada 11 Mei 2025 hanyalah refleksi dari mentalitas kekalahan yang mengakar di beberapa kelompok suporter Arema. Mentalitas seperti ini sebenarnya telah menciptakan kerusuhan pada tragedi Kanjuruhan sebelumnya, saat Arema kalah 2-3 dari Persebaya Surabaya pada 2022. Setelah kekalahan tersebut, sekelompok Aremania menyerbu lapangan dan berhadapan langsung dengan pihak keamanan. Tindakan kekerasan seperti itu tidak hanya merugikan suporter yang terlibat, tetapi juga mencoreng nama baik klub dan sepakbola Indonesia secara keseluruhan.

Seharusnya, tragedi Kanjuruhan menjadi sebuah pembelajaran besar bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia sepakbola Indonesia. Setelah kejadian itu, ada harapan besar agar perubahan besar terjadi, tidak hanya dalam hal regulasi dan pengamanan, tetapi juga dalam hal mentalitas para suporter. Namun, hingga kini, momentum untuk memperbaiki sikap suporter tampaknya telah terlewat. Sebelumnya, berbagai kelompok suporter sempat menunjukkan tanda-tanda rekonsiliasi, seperti yang dilakukan The Jakmania dan Bobotoh. Akan tetapi, keputusan untuk menerapkan larangan suporter away justru menutup peluang perdamaian yang mungkin bisa terwujud.

Mengambil pelajaran dari tragedi Hillsborough di Inggris pada tahun 1989, di mana ribuan nyawa melayang akibat kerusuhan suporter, reformasi besar dilakukan untuk memperbaiki sistem keamanan stadion dan mentalitas para suporter. Hooliganisme yang sempat merajalela di sepakbola Inggris perlahan-lahan bisa ditekan berkat kerja keras banyak pihak, termasuk kepolisian yang mengawal setiap pertandingan dengan ketat. Sementara itu, di Indonesia, keberadaan sistem "Bubble Match" yang efektif digunakan di negara lain dianggap terlalu berisiko. Rasa kebencian terhadap rivalitas antar suporter yang terus dipelihara justru semakin memperburuk situasi.

Ke depan, harapan untuk perubahan mentalitas para suporter, khususnya Aremania, tetap harus dijaga. Arema FC sebagai klub juga harus lebih memperhatikan sikap dan perilaku suporter mereka. Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi titik balik untuk membangun sepakbola Indonesia yang lebih bermartabat, di mana suporter belajar untuk menerima kemenangan dan kekalahan dengan kepala tegak, serta menciptakan atmosfer pertandingan yang lebih positif dan aman. Jika ini tidak terjadi, maka tragedi serupa hanya akan terulang lagi di masa mendatang.

olahraga

Fenomena Terkini






Trending