KRIS BPJS Kesehatan Dikritik, Buruh Minta Prabowo Tinjau Ulang Penghapusan Sistem Kelas

22 May 2025 09:04 WIB
prabowo-subianto-1747382275843_169.jpeg

Kuatbaca.com-Kebijakan penghapusan sistem kelas pada BPJS Kesehatan yang digantikan dengan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) terus menuai penolakan. Salah satu yang paling vokal menentang adalah kelompok buruh yang tergabung dalam Forum Jaminan Sosial (Jamsos). Mereka menilai penerapan KRIS bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan berpotensi memberatkan peserta.

Kebijakan KRIS tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 sebagai perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Dalam aturan tersebut, sistem kelas 1, 2, dan 3 akan dihapuskan dan digantikan dengan layanan rawat inap yang standarnya disamaratakan.

Ketua Koordinator Forum Jamsos, Jusuf Rizal, menyuarakan kekhawatiran bahwa sistem baru ini akan memperbesar beban biaya yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Ia menyebut penghapusan sistem kelas dapat menurunkan efisiensi anggaran dan menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi pelayanan kesehatan.

Jusuf juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi dan mengkaji ulang kebijakan yang berkaitan dengan jaminan sosial secara menyeluruh. Menurutnya, keputusan besar seperti ini tidak boleh diambil tanpa mempertimbangkan dampak

luas terhadap rakyat, khususnya kelompok buruh.


1. Dampak Langsung terhadap Peserta BPJS, Khususnya Buruh

Penolakan terhadap KRIS juga datang dari Institute Hubungan Industrial Indonesia. Ketua lembaganya, Saepul Tavip, menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi merugikan kalangan buruh, terutama mereka yang selama ini mendapat manfaat lebih baik dari sistem kelas 1 dan 2.

Jika seluruh kelas disamaratakan, buruh yang sebelumnya berada di kelas lebih tinggi dikhawatirkan akan mengalami penurunan kualitas layanan rawat inap (downgrade). Sebaliknya, rumah sakit pun tidak serta-merta dapat meningkatkan standar ruang kelas 3 agar setara dengan kelas 1 dan 2. Artinya, ketimpangan tetap terjadi, hanya saja bentuknya berubah.

Selain itu, penerapan KRIS juga akan menghasilkan sistem iuran tunggal untuk peserta mandiri. Nilai iuran tersebut kemungkinan besar berada di antara iuran kelas 2 dan kelas 3 saat ini. Jika terjadi penurunan iuran dari peserta mandiri, ini akan berdampak pada neraca keuangan BPJS Kesehatan, termasuk ancaman defisit pembiayaan.

Saepul menambahkan, jika niat pemerintah adalah meningkatkan mutu layanan, maka seharusnya fokus perbaikan dilakukan pada fasilitas yang selama ini dianggap masih kurang memadai, bukan dengan menyeragamkan layanan menjadi satu jenis kamar saja. Ia menilai hal ini kontraproduktif terhadap upaya meningkatkan keadilan layanan kesehatan.


2. Potensi Aksi Buruh jika KRIS Diterapkan Paksa

Pihak buruh menyatakan kesiapannya untuk melakukan aksi penolakan jika kebijakan KRIS tetap dilanjutkan. Saepul Tavip menegaskan bahwa kelompoknya tidak akan tinggal diam apabila pemerintah memaksakan penerapan sistem rawat inap tunggal yang dianggap tidak adil dan memberatkan.

Menurutnya, buruh memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi melalui jalur konstitusional, termasuk aksi turun ke jalan. Mereka berharap DPR dan Presiden mendengarkan suara dari kelompok pekerja, yang merupakan salah satu kontributor terbesar dalam pembayaran iuran BPJS Kesehatan setiap bulan.

Kebijakan kesehatan publik, kata Saepul, harus dibuat berdasarkan partisipasi dan konsultasi publik, bukan hanya keputusan sepihak dari pembuat regulasi. Sebab, yang akan terdampak secara langsung adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama pekerja yang bergantung pada fasilitas BPJS Kesehatan dalam pengobatan mereka.


3. DJSN Siap Tampung Masukan, KRIS Berlaku Mulai Juni 2025

Merespons polemik ini, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Nunung Nuryartono, menegaskan bahwa lembaganya terbuka terhadap semua masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari kelompok buruh. Menurutnya, saran dan kritik sangat penting untuk perbaikan sistem jaminan sosial di Indonesia.

Nunung menambahkan, KRIS masih dalam tahap transisi. Aturan tersebut baru akan diterapkan secara menyeluruh paling lambat pada 30 Juni 2025. Saat ini, rumah sakit diberi keleluasaan untuk menyesuaikan diri secara bertahap, baik dari sisi infrastruktur maupun pelayanan, sesuai kemampuan masing-masing.

DJSN berkomitmen untuk terus mengawasi proses implementasi KRIS agar tidak menimbulkan ketimpangan pelayanan. Selain itu, evaluasi berkala akan dilakukan untuk memastikan bahwa sistem baru ini benar-benar mampu memberikan layanan kesehatan yang setara dan berkualitas.

Namun, hingga saat ini, desakan untuk membatalkan atau meninjau ulang sistem KRIS terus menguat. Publik menanti langkah tegas dari Presiden Prabowo Subianto dalam merespons masukan yang datang dari para buruh dan pemangku kepentingan lainnya.

pemerintah

Fenomena Terkini






Trending