Kisruh Truk ODOL: Ketika Sopir Jadi Tumbal Sistem Logistik yang Bobrok

29 June 2025 23:14 WIB
ilustrasi-sebuah-truk-melintasi-tol-dok-istimewa_169.jpeg

Kuatbaca - Gelombang protes para sopir truk belakangan ini bukan sekadar reaksi emosional atas penertiban di jalan. Lebih dari itu, aksi mereka menyuarakan keresahan yang telah lama terpendam: sebuah sistem logistik nasional yang tak sehat dan penegakan hukum yang dinilai tak adil. Kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) yang dicanangkan pemerintah memang bertujuan mulia, namun pelaksanaannya justru menciptakan luka sosial di kalangan sopir angkutan barang.

Bukan Sekadar Truk, Ini Soal Keadilan

Kendaraan-kendaraan raksasa dengan muatan berlebih bukanlah fenomena baru. Truk dengan dimensi di luar batas wajar sudah bertahun-tahun melintasi jalan nasional tanpa hambatan berarti. Keberadaan mereka dianggap lumrah, bahkan seperti bagian dari keseharian. Akibatnya? Jalanan cepat rusak, angka kecelakaan melonjak, dan biaya pemeliharaan infrastruktur membengkak.

Namun, ketika pemerintah mulai serius menertibkan, langkah pertama justru menargetkan para sopir. Di sinilah letak persoalannya. Para pengemudi yang sebenarnya hanya menjalankan perintah, justru jadi ujung tombak penegakan hukum. Mereka dihentikan di jalan, ditilang, bahkan truk mereka ditahan. Padahal keputusan soal muatan dan modifikasi truk bukan berada di tangan mereka.

Sopir Tak Punya Pilihan, Tolak Muatan Berarti Kehilangan Pekerjaan

Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sopir sering kali tidak memiliki kuasa dalam menentukan beban yang mereka angkut. Permintaan untuk membawa muatan berlebih datang dari atas: pemilik barang, pemilik truk, bahkan dari kontrak kerja yang menuntut efisiensi ongkos. Menolak perintah bisa berarti kehilangan pekerjaan, kehilangan pemasukan, bahkan masuk daftar hitam perusahaan.

Dalam kondisi ini, demonstrasi yang dilakukan para sopir bukan bentuk pembangkangan, melainkan jeritan atas ketimpangan sistem. Mereka merasa diperlakukan tidak adil: dihukum karena menjalankan perintah, sementara pemilik modal yang membuat keputusan tetap melenggang bebas.

Razia Jalanan Bukan Solusi Jangka Panjang

Selama ini penanganan ODOL cenderung reaktif. Pemerintah melakukan razia di titik-titik jalan tertentu, menghentikan truk yang tampak mencurigakan, dan menindak sopir di tempat. Tapi upaya ini hanya menyentuh permukaan. Akar persoalan tetap dibiarkan tumbuh liar: karoseri yang memodifikasi truk seenaknya, pengusaha logistik yang memaksakan efisiensi ekstrem, hingga instansi yang seharusnya mengawasi malah longgar dalam pengujian kendaraan.

Sistem pengawasan seperti uji KIR seharusnya menjadi benteng terakhir, namun realitas menunjukkan sebaliknya. Banyak kendaraan dengan dimensi tak wajar tetap lolos pengujian dan beroperasi tanpa hambatan. Manipulasi data, celah administratif, hingga lemahnya kontrol digital menjadi celah yang terus dimanfaatkan.

Salah satu kekeliruan terbesar dalam penanganan ODOL adalah fokus penegakan hukum yang hanya berpusat pada sopir dan petugas lapangan. Padahal, pelanggaran semacam ini berasal dari hulu: pemilik barang yang menginginkan pengiriman cepat dan murah, pemilik armada yang menargetkan efisiensi biaya, dan karoseri yang bersedia memodifikasi truk untuk tujuan komersial.

Jika semua hanya dihentikan di jalan, maka penertiban ini hanya akan menjadi pertunjukan tahunan yang tidak menyelesaikan apa-apa. Pemerintah harus berani menyasar para aktor utama di balik layar, mereka yang menentukan kapasitas angkut, membiarkan truk obesitas beroperasi, dan mengabaikan regulasi atas nama keuntungan.

Setiap tahun, negara harus mengeluarkan hingga puluhan triliun rupiah hanya untuk memperbaiki jalan yang rusak akibat beban berlebih dari kendaraan ODOL. Dana ini semestinya bisa digunakan untuk kebutuhan esensial seperti pendidikan, layanan kesehatan, atau pembangunan daerah terpencil.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pembiaran terhadap truk obesitas bukan sekadar masalah lalu lintas, tapi menyangkut kebijakan fiskal dan keadilan sosial. Kerugian negara menjadi beban masyarakat luas, sementara pelaku pelanggaran tetap leluasa bergerak.

Solusi jangka panjang tak bisa hanya mengandalkan patroli jalanan. Pemerintah perlu membangun ekosistem logistik yang transparan, terhubung, dan berbasis teknologi. Penggunaan sistem pelacakan armada, timbangan otomatis di jalan, serta pelaporan digital dari titik muat hingga bongkar akan mempersempit ruang pelanggaran.

Belajar dari negara seperti Jepang dan Korea Selatan, penataan sistem logistik yang tertib dan berbasis data mampu menekan praktik ODOL secara signifikan. Setiap muatan dicatat, rute dimonitor, dan pelanggaran langsung ditindak—bukan hanya kepada sopir, tapi ke seluruh rantai logistik yang terlibat.

Pemerintah memiliki tugas besar: mengubah pendekatan dari sekadar responsif menjadi sistematis. Penegakan hukum harus menyentuh semua pihak, dari pemilik barang, operator logistik, hingga pengusaha karoseri. Selama aktor utama tetap tak tersentuh, sopir-sopir kecil akan terus jadi korban, dan jalan-jalan Indonesia akan terus berlubang akibat sistem yang tak mau berubah.

Sudah saatnya kita membangun ekosistem logistik yang adil dan berkelanjutan—bukan hanya demi keselamatan jalan raya, tetapi demi keadilan sosial dan efisiensi ekonomi nasional.

sosial budaya

Fenomena Terkini






Trending