Macet Jakarta 28 Mei 2025: Cerita Warga Terjebak di Tengah Kota yang Lumpuh

Kuatbaca - Jakarta kembali menunjukkan sisi kelamnya sebagai ibu kota padat penduduk, dengan kemacetan luar biasa yang melumpuhkan sebagian besar ruas jalan pada Rabu, 28 Mei 2025. Dari jalan tol hingga arteri utama, semuanya disesaki kendaraan yang hanya bisa merayap atau bahkan terhenti total. Inilah potret perjuangan para pengguna jalan, dari pekerja kantoran hingga pengemudi ojek online, yang harus menghadapi ‘drama’ lalu lintas ibu kota.
Macet Dimulai Sejak Sore, Jakarta Nyaris Tak Bergerak
Sejak Rabu sore, titik-titik kemacetan mulai bermunculan di berbagai sudut Jakarta. Ruas Jalan Gatot Subroto menjadi salah satu yang pertama lumpuh. Menjelang malam, kemacetan menyebar ke Jalan MH Thamrin, Bundaran HI, hingga ke arah Bundaran Senayan. Tidak hanya kendaraan pribadi, sepeda motor dan angkutan umum pun terjebak tanpa bisa berbuat banyak. Klakson bersahut-sahutan, suasana semakin panas, baik oleh suhu udara maupun emosi pengendara.
Lalu lintas tak hanya padat di jalan arteri. Beberapa ruas jalan tol juga tak luput dari antrean panjang kendaraan. Tol Dalam Kota mengalami kemacetan dari Cawang hingga Kuningan, lalu berlanjut hingga Semanggi dan Pejompongan. Jalan Tol JORR dan Tol Jakarta-Tangerang juga padat merayap karena tingginya volume kendaraan, diduga berkaitan dengan libur panjang akhir pekan.
Tiga Jam dari Halim ke Sudirman, Satu Dokumen Terancam Gagal Tiba
Salah satu kisah yang mencuat adalah pengalaman Rusdi, seorang pekerja yang membawa dokumen penting dari Halim menuju kawasan Sudirman. Ia berangkat pukul dua siang dan baru mencapai kawasan Polda Metro Jaya tiga jam kemudian. Meski waktu tempuh normal biasanya kurang dari satu jam, kemacetan membuat tugas sederhana seperti mengantar dokumen menjadi tantangan besar.
Nasib serupa dialami Imam yang memulai perjalanannya dari Cawang. Kemacetan luar biasa di Kuningan memperlambat laju kendaraannya hingga hampir satu jam hanya untuk menempuh jarak pendek menuju Polda Metro.
Pengemudi Ojol: Dari Terang Hingga Gelap, Tak Bergerak Juga
Pengemudi ojek online (ojol) juga tidak luput dari penderitaan akibat kemacetan ini. Mamat, seorang pengojek yang mengambil pesanan dari Monas ke kawasan Sudirman, harus menghabiskan dua jam di jalan hanya untuk menempuh jarak yang biasanya bisa dilalui dalam 30 menit. Dari sore yang masih terang, hingga langit gelap, motornya tak kunjung bisa melaju dengan normal.
Pengemudi lain, Asrul, bahkan mengaku pakaiannya basah oleh keringat akibat macet panjang dari Bundaran HI. Sementara Muslim, ojol lainnya, harus menghentikan perjalanan karena penumpangnya memutuskan turun lebih dulu akibat tak tahan dengan kemacetan.
Motor Tak Bisa Menyalip, Busway Penuh, Jalan Tikus Pun Macet
Tidak hanya pengguna kendaraan pribadi dan ojol, pengguna transportasi umum juga menjadi korban. Alisya, seorang pekerja yang biasanya menempuh perjalanan dari Senayan ke Tebet dalam waktu 30 menit, harus menelan pil pahit dengan perjalanan yang molor hingga 2,5 jam. Bahkan motor pun tak bisa bergerak, apalagi mobil.
Ia mencoba jalur-jalur alternatif, seperti lewat Seriabudi dan Rasuna, tetapi ternyata jalan tikus pun tidak bisa diandalkan. Semua penuh, semua macet.
Hannung, seorang pegawai swasta lainnya, memilih menggunakan TransJakarta untuk pulang dari Sahid Sudirman ke kawasan Kuningan. Namun, harapannya untuk perjalanan cepat pupus saat bus berhenti total karena kemacetan. Ia harus menunggu dua jam hingga akhirnya mencapai Kuningan City, padahal jarak tempuh biasanya tidak lebih dari 30 menit.
Cerita lain datang dari Ayu, pekerja yang memulai perjalanan dari Halte Slipi menuju kantornya di Mampang menggunakan bus TransJakarta koridor 9. Jika biasanya perjalanan hanya 30 menit, kali ini Ayu harus menempuh perjalanan 2,5 jam, termasuk menyambung naik ojol setelah bus tak lagi bisa bergerak.
Polda Metro Jaya akhirnya memberi penjelasan. Kemacetan yang melanda ibu kota tersebut bukan akibat pengalihan arus untuk tamu kenegaraan, melainkan karena lonjakan volume kendaraan yang terjadi secara bersamaan pada sore hingga malam hari. Beberapa ruas jalan juga mengalami penyempitan, memperburuk kondisi yang sudah padat.
Tak ada peningkatan arus keluar Jakarta yang signifikan, namun beban dalam kota ternyata cukup untuk melumpuhkan mobilitas warganya.
Kemacetan seperti ini bukan kali pertama terjadi. Namun, ketika setiap sudut kota lumpuh dan warga hanya bisa pasrah di tengah deru mesin dan kepulan asap, pertanyaan besar kembali muncul: sampai kapan Jakarta akan seperti ini? Solusi jangka panjang yang konkret dan berani tampaknya menjadi kebutuhan mendesak. Bukan sekadar menambal dengan rekayasa lalu lintas atau pengalihan jalur sementara.