Proyek Hilirisasi Batu Bara Jadi Gas Terkendala Biaya dan Infrastruktur, Ini Penjelasan Bos PTBA

1. PTBA Ungkap Tantangan Serius Proyek Hilirisasi Batu Bara ke DME
Kuatbaca.com - Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Arsal Ismail, mengungkap sejumlah hambatan dalam proyek ambisius mengubah batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG). Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI pada Senin (5/5/2025), Arsal menyatakan bahwa nilai keekonomian menjadi persoalan utama, di mana biaya produksi DME masih lebih tinggi dibanding harga jual dan LPG impor.
2. Harga Produksi DME Belum Kompetitif Dibanding LPG
Menurut perhitungan PTBA, harga jual DME subsidi untuk kemasan 3 kg dipatok Rp 34.069 atau sekitar US$ 710 per ton, jauh di atas LPG subsidi yang hanya Rp 22.727 per 3 kg atau US$ 474 per ton. Bila dikalkulasikan untuk kebutuhan tahunan sekitar 10,78 juta ton, maka subsidi DME akan mencapai Rp 123 triliun, jauh lebih besar dibanding Rp 82 triliun untuk LPG.
3. Infrastruktur dan Konversi Kompor Jadi Kendala Teknis
Arsal juga menyoroti tantangan infrastruktur konversi, baik dari sisi distribusi maupun perangkat rumah tangga. Menurutnya, jarak pipa atau jalur distribusi bahan bakar DME bisa mencapai 172 km, dan diperlukan kesiapan jaringan niaga serta distribusi yang luas agar DME bisa dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Selain itu, kompor LPG yang ada belum kompatibel dengan DME, sehingga perlu perubahan besar-besaran di sektor hilir.
4. Perlu Dukungan Pemerintah agar Proyek Tetap Berjalan
Meski menghadapi tantangan besar, Arsal menegaskan bahwa PTBA tetap berkomitmen menjalankan proyek hilirisasi sebagai bagian dari upaya mendukung ketahanan energi nasional. Ia meminta dukungan kebijakan dari pemerintah, terutama terkait harga jual DME dan insentif yang dapat menjadikan proyek ini layak secara finansial bagi investor dan pelaku industri.
5. Proyek Strategis untuk Kurangi Ketergantungan Impor LPG
Proyek ini pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG impor yang selama ini mendominasi pasokan energi rumah tangga. Dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun, DME diharapkan menjadi energi alternatif bersih yang kompetitif dan dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri.
6. Investor Minat, Tapi Perlu Kepastian
Arsal menyebutkan bahwa sejumlah investor global telah menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di proyek DME Indonesia. Namun, mereka masih menanti kepastian soal skema bisnis dan regulasi, terutama terkait dengan jaminan keekonomian dan infrastruktur penunjang proyek tersebut.
7. Gagalnya Kerja Sama dengan Air Products Menghambat Proyek
Salah satu pukulan berat dalam pengembangan proyek ini adalah mundurnya Air Products, perusahaan asal Amerika Serikat yang sebelumnya direncanakan sebagai penyedia teknologi dan operator fasilitas produksi. Hal ini menyebabkan skema awal proyek yang melibatkan PTBA sebagai pemasok batu bara, Pertamina sebagai pembeli (off-taker), dan Air Products sebagai pemroses DME tidak bisa direalisasikan hingga saat ini.
8. Pelajaran dari Pengalaman: Kejelasan Peran dan Dukungan Jangka Panjang
Kegagalan realisasi skema awal menunjukkan bahwa kejelasan peran tiap pihak dan dukungan kebijakan jangka panjang sangat vital dalam proyek hilirisasi. Tanpa jaminan keekonomian dan kesiapan infrastruktur, proyek strategis seperti ini akan terus tertunda, meskipun secara potensi sangat menjanjikan untuk kemandirian energi nasional.
9. Hilirisasi Batu Bara Masih Relevan dengan Transisi Energi
Meski batu bara sering dianggap tidak ramah lingkungan, proses hilirisasi menjadi DME sebenarnya merupakan bagian dari strategi transisi energi menuju bahan bakar yang lebih bersih. DME memiliki emisi karbon lebih rendah dibanding LPG dan bisa menjadi jembatan menuju energi terbarukan di masa depan.
10. Proyek DME Butuh Kepastian, Bukan Sekadar Komitmen
Proyek hilirisasi batu bara menjadi DME merupakan peluang besar untuk mengurangi impor energi, meningkatkan nilai tambah sumber daya alam dalam negeri, dan mendorong transformasi energi nasional. Namun, tanpa dukungan regulasi yang memadai dan strategi keekonomian yang jelas, proyek ini hanya akan menjadi rencana ambisius tanpa realisasi.