Ikatan lahir batin yang terbentuk di antara pria dan wanita sebagai pasangan “halal” baik menurut ajaran agama maupun ketentuan hukum kini cenderung tak lagi dipandang sebagai prioritas dalam kehidupan. Terbukti rilisan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan kecenderungan angka perkawinan yang merosot cukup signifikan terjadi mulai dari 2018 hingga 2023.
Paling mencolok terjadi pada 2023 apabila disandingkan dalam satu dekade terakhir dengan sedikitnya cuma ada 1.577.255 orang Indonesia yang menikah. Angka ini turun 7,5 persen atau sekitar 128 ribu dibandingkan 2022 dengan 1.705.348 pernikahan. Meski data yang dipublikasikan BPS hanya mencakup data pernikahan untuk agama Islam. Namun, pada 2023 juga menandai penurunan angka seperti sebagai berikut.
Di tengah penurunan angka pernikahan tersebut, Jawa Barat kembali menduduki posisi atas dengan angka pernikahan tertinggi mencapai 317.715 pada 2023. Sementara itu, posisi terbawah dengan angka pernikahan terendah diduduki oleh Papua Selatan dengan 817 catatan pernikahan selama 2023. Bahkan, ikatan sakral tercatat di Papua Pegunungan tidak memiliki catatan pernikahan sepanjang tahun lalu.
Publikasi BPS bertajuk “Statistik Pemuda Indonesia 2023” mencatat bahwa pada 2023 sekitar 68,29 persen generasi muda dengan rentang usia merujuk pada UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, yakni rentang berusia 16 sampai 30 tahun dilaporkan belum menikah. Seperti yang disampaikan Bela, seorang pegawai di salah satu layanan food and beverage (F&B) di Jakarta. Pada KuatBaca.com, perempuan berusia 22 tahun ini mengaku selain fokus mengejar karir, alasan ia menunda pernikahan lantaran belum siap. Bukan hanya Bela, nyatanya penjual kopi keliling atau starling di kawasan elite pusat perkantoran di Jakarta bernama Subhan mengaku prioritas untuk mandiri menjadi alasannya untuk menunda memikirkan pernikahan.
“Gimana ya pengen nggak nyusahin orang tua, nggak minta duit sama orang tua, saya malu kalau minta duit, mending usaha sendiri,” jelas Subhan pada KuatBaca.com.
Artinya, prosesi sakral ini bukan lagi prioritas bagi anak-anak muda, salah satu mahasiswa di Universitas Atma Jaya yang mengaku belum memiliki kekasih ini mengatakan pernikahan belum masuk ke dalam daftar prioritasnya lantaran ingin fokus pada pendidikan. Di sisi lain, mahasiswa yang telah berusia 21 tahun ini juga mengaku bahwa dirinya belum cukup dewasa secara pola pikir untuk berkomitmen.
Meski begitu, nyatanya tren penurunan ikatan sakral yang terjadi di kalangan usia, khususnya anak-anak muda tak serta merta terjadi hanya karena “belum menemukan jodoh”. Akademisi sekaligus pakar sosiologi dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Yuanita Aprilandini Siregar mengatakan faktor geografis mempengaruhi keputusan individu, salah satunya perkotaan seperti Jakarta yang tercatat memiliki proporsi 80 persen anak muda belum menikah.
“Jadi kalau kita sebut Kota Jakarta, ciri-ciri kota besar itu rasional, rasionalitas itu di atas segalanya, ketika memikirkan pernikahan, satu paket dengan pernikahan itu anak, dia akan mengkalkulasi plus minusnya, biaya yang dibutuhkan. Orang kota selalu berpikiran ketika kita melakukan sesuatu saya harus bisa meminimalisir sebesar mungkin risiko-risiko yang ada, jangan sampai saya menikah tetapi menyusahkan hidup. Saya punya anak, tetapi belum siap secara materi. Kalau kita sebut rasionalitas orang kota itu instrumental, kalkulasi untung rugi,” jelas Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Yuanita Aprilandini Siregar pada KuatBaca.com, Senin (25/04/2024).
Berbeda dengan pedesaan yang kerap disoroti karena tingginya angka perkawinan disertai dispensasi perkawinan anak atau dikenal dengan istilah pernikahan dini, Yuanita menjelaskan ketimpangan antara desa dengan urban ini dilandaskan adanya perbedaan rasionalitas di antara keduanya.
“Kalau desa ada rasionalitas, tetapi basisnya value atau nilai, pertanyaannya di balik kenapa orang desa memutuskan usia dini, seharusnya mereka sekolah karena value rationality, tradisi atau budaya, kalau sudah di atas 17 tahun atau 18 tahun nggak nikah disebut perawan tua, rasional karena dia nggak mau disebut perawan tua, valuenya lebih kuat atau perintah keagamaan,” jelasnya.
Sementara untuk kota-kota besar, akademisi dari UNJ menjelaskan rasionalitas kerap dikaitkan dengan faktor ekonomi mengingat biaya hidup di perkotaan yang tinggi, persaingan yang ketat, meningkatnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun, pembagian untuk biaya kesehatan, sehingga membentuk pola pikir kalkulasi biaya hidup pasca menikah yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih mengundurkan masa pernikahan.
Bukan hanya itu, berkurangnya angka pernikahan dari tahun ke tahun ini khusus di kalangan perempuan dinilai Yuanita ada campur tangan dari digalakkannya feminisme di Indonesia, gerakan kaum perempuan terhadap kesetaraan gender. Dalam hal ini, perempuan bukan hanya berakhir dengan segala kesibukan di ruangan penuh aroma masakan atau dapur, tetapi bisa menjadi apapun dengan kontribusinya di berbagai profesi.
“Menurut saya mau nggak mau kita harus menyoroti gerakan kaum perempuan atau feminisme yang mengedepankan kesetaraan untuk perempuan dan laki-laki, akses pendidikan, akses lapangan kerja, ini sebenarnya membuat perempuan memiliki banyak sekali pilihan dibanding generasi sebelumnya. Perempuan itu bisa menjadi apapun, bisa bekerja di mana pun, tidak ada lagi pembatasan selama dia punya kemampuan atau kapabilitas yang mumpuni karena banyak pilihan nampaknya opsi untuk menikah, membangun keluarga dipendam dulu, saya ingin coba dulu pilihan-pilihan ini,” jelasnya.
Belum lagi karakter khas masyarakat perkotaan yang bukan hanya cenderung dengan pola pikir rasionalitas, tetapi karakter individualis yang melekat di mana di antaranya mengesampingkan pendapat orang lain dan lebih mementingkan diri sendiri di tengah padatnya aktivitas.
“Dari orang kota ada karakter khas yaitu dia asosial atau individualis, urusan saya, ya urusan saya, saya nggak mau ngurusin orang lain dan orang lain jangan ngurusin saya. Individualisme di perkotaan satu sisi melekat karena dia setiap hari kerja, tidak punya waktu bersosialisasi selain di tempat kerjanya, circle hanya sebatas kantor dan pekerjaannya, akhirnya cuek, individualis, pilihan menikah atau tidak menikah, atau saya akan menunda pernikahan,” jelasnya.
Seperti yang disampaikan salah satu pekerja swasta bernama Tasya (25) yang mengaku dirinya enggan untuk menikah karena memiliki sisi individualis yang melekat, bahkan ia juga beranggapan apapun keputusannya tidak akan berdampak pada orang lain.
“Mungkin alasan utamanya karena individualis, kalau aku berpikir aku menikah ataupun nggak itu nggak ada pengaruhnya ke orang lain, terus juga karena lingkungan dari teman-teman, kerabat dekat, pengalaman pernikahannya itu nggak bagus,” jelas Tasya.
Di sisi lain, bak pisau bermata dua, penalaran rasionalitas disertai individualis khas masyarakat perkotaan juga diimbau Yuanita dapat berdampak pada angka kependudukan. Meski negara berkembang cenderung diterpa proyeksi peningkatan populasi, tetapi penurunan tren angka pernikahan ini juga berdampak negatif.
“Dampak merosotnya angka pernikahan, jadi kalau sekarang isu negara berkembangan itu masalahnya over population, kepadatan penduduknya tinggi, jumlah penduduknya besar, dulu banyak anak banyak rezeki, sekarang orang malas menikah atau memundurkan usia pernikahan, ini berdampak pada piramida kependudukan, tadinya surplus tenaga kerja, over population, justru die population,” tutup Yuanita. (*)
[INFOGRAFIS]