Jeritan Hati Para Ojol: Antara Roda yang Berputar dan Status yang Terabaikan

Kuatbaca - Hari itu, suasana Gedung DPR RI di Senayan sedikit berbeda. Bukan karena sidang paripurna besar, melainkan karena kehadiran perwakilan dari Koalisi Ojol Nasional (KON) yang membawa keluhan mewakili ribuan pengemudi ojek online (ojol) di seluruh Indonesia. Di tengah riuhnya bisnis digital yang terus berkembang, suara para pengemudi ojol semakin keras menuntut kejelasan status mereka yang selama ini terasa seperti 'hantu' di sistem ketenagakerjaan formal.
Kehadiran mereka bukan sekadar formalitas. Mereka datang membawa beban yang selama ini dipikul dalam diam—beban ketidakpastian, eksploitasi, dan minimnya perlindungan hukum dalam profesi yang semakin esensial bagi masyarakat modern.
Status Tak Jelas, Nasib Mengambang
Ketua Dewan Presidium Pusat KON, Andi Gustianto, menjadi juru bicara utama dalam Rapat Dengar Pendapat Umum tersebut. Ia menyoroti bahwa hingga kini, pengemudi ojol masih belum diakui secara hukum sebagai pekerja dengan hak-hak formal. Mereka bekerja setiap hari, menempuh jalan panjang, berpanas-panasan dan berhujan-hujanan, namun tanpa kepastian perlindungan tenaga kerja sebagaimana yang didapatkan pekerja formal lainnya.
Andi menegaskan bahwa tanpa status hukum yang jelas, pengemudi ojol berada di wilayah abu-abu yang membuat mereka sangat rentan terhadap perlakuan semena-mena dari pihak aplikator.
Eksploitasi Terselubung di Balik Layar Aplikasi
Isu eksploitasi menjadi sorotan utama. Banyak pengemudi ojol merasa sistem yang dibangun oleh aplikator sangat merugikan mereka. Promo besar-besaran yang ditawarkan kepada penumpang ternyata bukan tanpa dampak. Di balik tarif murah yang dinikmati pelanggan, terdapat potongan pendapatan yang signifikan bagi pengemudi.
Tak hanya secara ekonomi, tekanan psikologis juga menjadi beban tersendiri. Target harian, sistem suspensi yang tidak transparan, hingga hukuman pemutusan kemitraan sepihak menjadi momok yang menakutkan. Semua itu terjadi dalam sistem yang mengatasnamakan ‘kemitraan’, namun dalam praktiknya lebih mirip hubungan kerja satu arah yang timpang.
Ketika Regulasi Tak Mampu Menyamai Kecepatan Teknologi
Permasalahan utama yang muncul adalah lambatnya regulasi dalam mengikuti laju perkembangan teknologi. Model bisnis transportasi online bergerak cepat, sementara regulasi masih tertinggal jauh. Akibatnya, banyak ruang abu-abu dalam hubungan antara pengemudi dan perusahaan aplikator yang belum diatur secara jelas.
Andi menyampaikan bahwa selama regulasi belum ada, maka para pengemudi akan terus berada di posisi lemah. Mereka tidak memiliki payung hukum untuk membela hak-haknya, dan itu membuka celah bagi praktik eksploitasi untuk terus terjadi tanpa bisa disentuh hukum.
Namun, Andi juga mengakui bahwa tidak bisa serta-merta menyalahkan keberadaan aplikator. Bagaimanapun, platform tersebut telah membuka peluang kerja bagi jutaan masyarakat Indonesia. Yang diharapkan adalah keseimbangan—model bisnis yang tetap berkembang namun juga memperhatikan aspek keadilan sosial bagi para mitranya.
Ia pun meminta agar DPR bisa hadir sebagai penengah, mencari jalan keluar yang tidak mematikan inovasi, namun juga tidak mengabaikan hak-hak dasar pengemudi. Regulasi yang jelas, sistem perlindungan yang transparan, serta mekanisme pengawasan yang adil menjadi kunci agar dunia kerja digital ini bisa berkembang secara sehat dan manusiawi.
Kehadiran KON di DPR hari itu bukan hanya mewakili suara para pengemudi, tapi juga menggambarkan fenomena besar dalam dunia kerja masa kini. Di tengah kemajuan teknologi dan digitalisasi, masih banyak pekerja yang belum mendapatkan kepastian hukum atas jerih payahnya.
Apa yang disuarakan para pengemudi ojol adalah refleksi dari kegelisahan sosial yang nyata: bagaimana memastikan keadilan dan perlindungan dalam dunia kerja yang terus berubah? Kini, bola ada di tangan para wakil rakyat—apakah mereka akan merespons jeritan para ojol dengan langkah konkret, atau membiarkannya kembali hilang di tengah lalu lintas kepentingan politik?