Selat Hormuz, Program Nuklir Iran, dan Eskalasi Krisis Global

Kuatbaca.com-Konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali memanas, mengangkat dua isu utama yang menjadi faktor penentu eskalasi: kendali atas Selat Hormuz dan program nuklir Iran. Kedua hal ini bukan hanya penting bagi stabilitas regional, tapi juga berdampak besar pada pasar energi dan politik global.
1. Selat Hormuz: Jalur Vital Pasokan Minyak Dunia
Selat Hormuz adalah selat sempit di antara Oman dan Iran, yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Meskipun hanya memiliki lebar antara 33 hingga 95 kilometer dan panjang sekitar 39 kilometer, selat ini memegang peranan strategis sebagai chokepoint utama pengiriman minyak global. Sekitar 21 juta barel minyak per hari atau sekitar seperempat produksi minyak dunia melewati jalur ini dengan nilai ekonomi mencapai ratusan miliar dolar per tahun.
Selat Hormuz menjadi satu-satunya rute tercepat bagi ekspor minyak dari negara-negara Teluk ke pasar internasional. Meski Iran berkali-kali mengancam menutup jalur ini sebagai bentuk tekanan politik dan diplomasi, tindakan tersebut belum pernah benar-
benar dilakukan secara penuh karena dampaknya yang sangat besar, termasuk pada pendapatan minyak Iran sendiri.
Ancaman terbaru Iran untuk menutup Selat Hormuz muncul setelah operasi militer AS yang dikenal sebagai “Operasi Godam
Tengah Malam” pada Juni 2025. Iran pun menyatakan kesiapan mempertahankan jalur ini dengan kekuatan militer yang telah diperkuat, meski analis menilai kemampuan Iran hanya cukup untuk menutup jalur selama sekitar seminggu.
Jika benar terjadi penutupan lebih lama, gangguan pasokan minyak dunia diperkirakan akan menyebabkan lonjakan harga minyak yang signifikan, bahkan mencapai harga US$130 per barel, yang akan mengguncang ekonomi global termasuk Indonesia.
2. Program Nuklir Iran dan Konstelasi Politik Internasional
Program nuklir Iran telah menjadi fokus perhatian dunia selama beberapa dekade. Dimulai pada era sebelum revolusi Islam 1979, Iran mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan energi dengan bantuan AS dan Eropa. Namun setelah rezim berganti, Iran menjadi negara yang kerap mendapat tekanan dari Barat akibat dugaan pengembangan senjata nuklir.
Iran terus mengembangkan fasilitas pengayaan uranium seperti Natanz dan Arak, walaupun dibayang-bayangi sanksi internasional
dan pengawasan ketat dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Meski proyek nuklirnya sempat terbatas karena tekanan global, Iran melanjutkan riset dan pengayaan uranium hingga tingkat tinggi yang memunculkan kekhawatiran akan kemampuan
senjata nuklir.
Perbedaan standar antara Iran dan Israel dalam hal non-proliferasi nuklir juga menjadi sorotan. Israel, yang tidak meratifikasi perjanjian non-proliferasi, diketahui memiliki arsenal nuklir dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai kekuatan yang setara dengan Iran dalam konteks senjata nuklir, sehingga memunculkan dinamika saling menahan diri.
3. Dampak Krisis Energi dan Politik bagi Indonesia
Indonesia sangat rentan terhadap gangguan pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah, terutama melalui Selat Hormuz. Saat ini Indonesia merupakan importir netto minyak, sehingga kenaikan harga minyak global langsung berimbas pada anggaran negara.
Setiap kenaikan harga minyak sebesar 1 dolar AS diperkirakan menambah beban subsidi energi sebesar Rp 1,5 triliun. Dengan harga minyak yang mendekati asumsi APBN 2025 sebesar US$82 per barel, penutupan Selat Hormuz yang memicu lonjakan harga minyak di atas US$100 per barel akan memperberat tekanan fiskal dan memaksa pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM dan listrik.
Ketergantungan Indonesia pada impor dari negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait, yang jalur pelayarannya melewati Selat Hormuz, juga menjadi risiko yang harus dikelola. Alternatif rute pengiriman bisa dipilih, namun biaya logistik akan meningkat secara signifikan.
4. Antisipasi Krisis dan Implikasi Sosial Ekonomi
Kenaikan harga energi berpotensi memicu gelombang inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, yang dapat berujung pada gejolak sosial dan politik. Indonesia harus mengantisipasi potensi krisis ini dengan langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.
Pengelolaan subsidi energi yang efisien dan diversifikasi sumber energi menjadi kunci menghadapi ketidakpastian global. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan kesiapan diplomasi dan kerja sama internasional dalam mengamankan pasokan energi.
Krisis di Selat Hormuz dan ketegangan atas program nuklir Iran mengingatkan dunia akan pentingnya stabilitas kawasan dan perlunya solusi diplomatik agar dampak negatif terhadap perekonomian global bisa diminimalisir.
Dengan dinamika geopolitik yang terus berkembang, penguatan kerjasama multilateral dan strategi nasional yang matang menjadi kunci agar negara-negara, termasuk Indonesia, mampu menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.